| Selamat datang di zona integritas KKP Kelas I Makassar | | Wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bersih melayani | | Dilarang memberikan suap / gratifikasi dalam bentuk apapun | | Laporkan bila ada permintaan gratifikasi melalui menu WBS pada website ini | | Untuk kemudahan tentang informasi pelayanan KKP Makassar anda dapat mengakses pada menu SIMPEL-TA pada website ini atau whatsapp chatbot di link ini https://wa.link/dkf0b7 | | Wilayah bebas dari korupsi dan wilayah birokrasi bersih dan melayani | | Selamat datang di zona integritas KKP Kelas I Makassar | | Wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bersih melayani | | Dilarang memberikan suap / gratifikasi dalam bentuk apapun | | Laporkan bila ada permintaan gratifikasi melalui menu WBS pada website ini | | Untuk kemudahan tentang informasi pelayanan KKP Makassar anda dapat mengakses pada menu SIMPEL-TA pada website ini atau whatsapp chatbot di link ini https://wa.link/dkf0b7 | | Wilayah bebas dari korupsi dan wilayah birokrasi bersih dan melayani |



GLOBAL HEALTH SECURITY AGENDA (GHSA)


            Adanya perubahan iklim dan peningkatan resistensi mikroba yang merupakan akibat dari kekeliruan manusia mengelola alam dan penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol menyebabkan timbulnya New-Emerging dan Re-Emerging disease. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi transportasi yang sangat pesat menjadikan dunia ini bagaikan sebuah desa kecil. Semua orang dapat terhubung dalam waktu singkat, hal ini menyebabkan mudahnya penyebaran penyakit dari satu negara ke negara lain, pergerakan manusia lebih cepat dari masa inkubasi penyakit, sehingga memungkinkan seseorang yang masih dalam masa inkubasi suatu penyakit melakukan perjalanan ke suatu negara, tidak terdeteksi ketika tiba di bandara, dan akhirnya menyebarkan penyakitnya di negara tujuan tanpa disadari oleh pihak berwenang. Menurut Olga B. Jonas (2013), dalam waktu kurang dari 36 jam, suatu penyakit dari sebuah desa yang terpencil  sudah bisa  menyebar ke seluruh kota-kota besar di dunia.

          Kondisi ini hampir tidak disadari sebagai ancaman besar bagi dunia, sampai terjadi kasus pandemi Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) pada akhir tahun 2002,  dimana dalam waktu  kurang dari 1 tahun, penyakit ini menyebar ke 32 negara dan mengakibatkan kerugian sampai 30 milyar dollar Amerika. Setelah SARS,  pada tahun 2004 WHO mengumumkan terjadinya pandemi Avian Influenza/flu burung, kemudian disusul dengan Swine Influenza/flu babi pada tahun 2009. Setelah itu outbreaks Middle East Respiratory Syndrome- Corona Virus (Mers-CoV ) tahun 2012 - 2013 menyerang negara-negara Timur Tengah yang dengan cepat menyebar ke negara lain di Asia dan Eropa. Yang terakhir adalah outbreaks Ebola yang terjadi di benua Afrika. Semua kasus tersebut menunjukkan adanya peningkatan ancaman terhadap masalah kesehatan global.

Sebagai respon terhadap terjadinya SARS, maka WHO menerbitkan International Health Regulations (IHR) 2005 sebagai revisi terhadap IHR 1969 yang mulai diberlakukan pada bulan Juni 2007. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi keamanan kesehatan dunia dengan meminimalisir gangguan terhadap perjalanan dan perdagangan internasional. Semua negara anggota yang tidak menolak regulasi ini sampai desember 2006, berkewajiban untuk mematuhi regulasi baru ini. Salah satunya adalah memenuhi minimum core capacities (kapasitas inti) sebagaimana yang dipersyaratkan oleh IHR 2005 untuk dapat mencegah, mendeteksi dan mengatasi terjadinya public health emergency of international concern (PHEIC) .

Dunia kembali tersadar tentang kebutuhan akan penguatan sistem kesehatan nasional pada masing-masing negara ketika terjadi epidemi Ebola di Afrika tahun 2014. Bukan hanya berdampak pada kesehatan manusia dimana lebih dari 11.000 orang meninggal, namun juga berdampak pada ekonomi. Bank Dunia mencatat bahwa pada tahun 2014 negara Guinea, Liberia dan Sierra Leone mengalami penurunan perekonomian lebih dari setengah setelah munculnya wabah Ebola dan kerugian ekonomi mencapai USD 2,8 Milyar .

Ternyata sembilan tahun setelah IHR 2005 ditetapkan, masih banyak negara yang belum memenuhi kapasitas inti  yang dipersyaratkan dalam IHR 2005. Hal ini tidak hanya mengancam negara tersebut, tetapi menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Februari 2014,   Global Health Security Agenda (GHSA) diluncurkan sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan dan melindungi dunia dari ancaman penyakit menular, untuk menyatukan bangsa-bangsa dari seluruh dunia, untuk membuat komitmen baru yang kongkrit dalam meningkatkan keamanan kesehatan global dengan menjadikannya sebagai prioritas nasional dari pemimpin suatu negara.

Global Health Security Agenda(GHSA) merupakan forum kerja sama antar negara yang bersifat terbuka dan sukarela untuk memperkokoh kapasitas nasional untuk penanggulangan  dan penanganan ancaman penyakit dan kesehatan global.  Pada awal peluncurannya, GHSA beranggotakan  29 negara, saat ini telah berkembang menjadi 65 negara dan di dukung oleh badan-badan PBB, seperti WHO, FAO dan OIE, Bank Dunia, Interpol, serta organisasi non pemerintah dan sektor swasta lainnya. Saat diluncurkan, hanya 30% negara anggota WHO yang memiliki kapasitas inti sebagaimana yang dipersyaratkan.

GHSA melakukan pendekatan multi lateral dan multi sektor dalam memperkuat kapasitas nasional dan kapasitas global untuk mencegah, mendeteksi dan menanggulangi ancaman penyakit menular, baik yang terjadi secara alamiah, disengaja maupun yang tidak disengaja. GHSA memfasilitasi kerjasama seluruh negara anggota untuk mempercepat  pencapaian kapasitas inti yang dipersyaratkan oleh IHR 2005, Performance of Veterinary Service Pathway dari OIE dan kerangka kerja keamanan kesehatan global lainnya.  Kerjasama ini dipimpin dan didukung oleh kelompok pengarah (steering commitee) GHSA yang terdiri dari 10 negara anggota. Ketua steering commitee dipilih dari negara yang berbeda setiap tahun.

Untuk mencapai tujuan, GHSA menyusun 11 paket aksi (action packages) yang melibatkan multisektor dan multidisiplin, termasuk kesehatan manusia, kesehatan hewan, pertanian dan keamanan. Setiap paket aksi disusun untuk mencapai target dalam lima tahun ke depan, merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kemajuan, dampak yang diinginkan, komitmen negara saat ini, dan sebagai daftar untuk penilaian, perencanaan, pemantauan, dan evaluasi yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Paket aksi meliputi pencegahan, deteksi dan respon. Paket aksi Pencegahan bertujuan untuk mencegah outbreak yang bisa dihindari, yang terdiri dari empat aksi, meliputi penanggulangan resistensi terhadap antimikroba, pengendalian penyakit zoonosis, biosafety dan biosecurity, dan Imunisasi. Paket aksi deteksi bertujuan untuk mendeteksi semua ancaman sedini mungkin, meliputi penguatan sistem laboratorium nasional, Surveillans, pelaporan dan penguatan sumberdaya manusia (SDM). Paket aksi respon bertujuan untuk merespon dengan cepat dan efektif, meliputi penguatan pusat penanganan kegawatdaruratan, kerangka hukum dan respon cepat multisektoral, dan  mobilisasi bantuan dan tenaga medis.

    Proses penguatan kapasitas inti negara-negara anggota dilakukan melalui 2 tahap. Tahap I meliputi 17 negara, sementara tahap II terdiri dari 14 negara (lihat gambar). Dukungan anggaran untuk penguatan kapasitas negara-negara tersebut terus meningkat,  berasal dari dukungan negara-negara maju dan kaya seperti G7, Australia, Spanyol dan Arab Saudi, Bank dunia  dan organisasi internasional seperti Bill & Melinda Gates Foundation.

          Sebelum paket aksi mulai digulirkan, langkah pertama adalah penilaian kapasitas masing-masing negara dengan menggunakan JEE (Joint External Evaluation) tools. Dengan JEE, negara-negara anggota dapat menilai kesenjangan antara kapasitas yang dimiliki dengan kapasitas yang dipersyaratkan dalam IHR (2005), sehingga menjadi dasar dalam merencanakan tindakan aksi yang menjadi prioritas utama. Sampai 30 November 2016, baru 25 negara yang menyelesaikan penilaian dengan JEE, dan belum ada satupun dari 25 negara tersebut yang melaksanakan paket aksi. Namun, per tanggal 26 Januari 2018, sudah 37 negara yang telah menyelesaikan penilaian JEE, 31 negara diharapkan selesai pada akhir tahun 2018, dan 12 negara menyatakan minat untuk melakukan penilaian dengan JEE. Dari 67 negara yang telah selesai melakukan penilaian, lima belas negara telah membuat kemajuan yang signifikan dalam membangun rencana aksi nasional, dan 10 negara masih dalam proses membangun rencana aksi.

Indonesia merupakan salah satu motor penggerak GHSA. Bersama dengan sembilan negara lain, Amerika Serikat, Chile, Finlandia, India, Italia, Kanada, Kenya, Korea Selatan, dan Saudi Arabia, Indonesia merupakan Steering Commitee (SC). Sesuai dengan mekanisme Troika (3 negara bergantian) untuk penentuan ketua SC, Indonesia terpilih menjadi ketua SC untuk tahun 2016. Dalam sidang SC GHSA di Jenewa tanggal 27 Januari 2017, Indonesia mendapat apresiasi atas kesuksesan memimpin SC selama tahun 2016.

Pada GHSA fase II (GHSA 2024), Indonesia terus berperan aktif, menjadi lead country untuk Action Package Zoonotic Disease (Prevent-2) dan menjadi contributing country untuk Action Package Anti Microbial Resistance (Prevent-1), Real-Time Surveillance (Detect-2), dan Linking Public Health with Law and Multisectoral Rapid Response (Respond-2). Indonesia juga menawarkan untuk menjadi host country Sekretariat GHSA yang akan membantu administrasi dan komunikasi dalam GHSA 2024 yang saat ini sedang dalam pembahasan untuk menentukan lokasi dan komposisinya.

Di tingkat nasional, penanganan GHSA dilakukan oleh 25 Kementerian/Lembaga di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Menteri Kesehatan sebagai Ketua Umum.

          Sebagai tempat keluar masuknya orang dan barang, bandar udara, pelabuhan dan pos lintas batas darata negara sebagai pintu masuk negara, memiliki peran yang sangat penting dalam GHSA. Kasus pandemi SARS, Avian Influenza dan wabah lainnya, menyebar ke berbagai negara melalui point of entry (pintu masuk negara). Oleh karena itu salah satu paket aksi respon adalah penguatan surveilans di pintu masuk negara.

         Pengalokasian anggaran APBN yang cukup besar untuk Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan meningkat setiap tahun menunjukkan besarnya perhatian peemerintah untuk penguatan surveilans di pintu masuk negara. Anggaran tersebut digunakan untuk peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan jumlah dan kualitas SDM dan sarana pendukung lainnya. Untuk sarana dan prasarana misalnya, di setiap Bandar udara atau pelabuhan Internasional dipasang thermal Scanner di area kedatangan, disiapkan ruang wawancara (holding room) yang terpisah dengan ruang pemeriksaan pasien umum bagi pelaku perjalanan yang dicurigai menderita penyakit yang berpotensi wabah, dan penyiapan ambulans penyakit menular. Peningkatan kualitas SDM di pintu masuk juga menjadi prioritas. Seluruh KKP mendapat alokasi untuk mengikuti Field Epidemiology Training Program (FETP) serta pendidikan dan pelatihan terkait lainnya.

            Untuk kesiapsiaagaan menghadapi public health emergency of  international concern (PHEIC), setiap KKP melaksanakan simulasi kegawatdaruratan PHEIC secara rutin setiap tahun dan telah menyusun rencana kontigensi untuk menghadapi PHEIC dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di bandara udara, pelabuhan maupun pos lintas batas darat negara.


KOMENTAR

Tinggalkan Pesan